Selasa, 07 Juni 2011

aku seperti sebatang pohon dalam hamparan padi di sawah


Sepi.

Kadang aku merasa sangat kesepian. Sangat kesepian. Namun, kesepianku ini bukanlah tanpa alasan. Kesepianku bersifat kekal. Mutlak. Absolut. Selamanya. Atau apalah itu namanya. Aku selalu merasa sebagai makhluk yang paling berbeda. Berbeda itu tak sama. Berbeda itu salah. Aku ini selalu salah. Serba salah. Aku ini juga makhluk paling sial. Makhluk yang hidup di dunia berbeda dari duniaku yang sebenarnya. Kadang aku merasa bingung dengan hidup ini. Mengapa tuhan menempatkanku di tempat yang sangat asing? Tempat yang membuatku merasa aneh dan terasing. Tempat yang sering membuatku pusing tujuh keliling. Tempat yang sering membuatku merasa terdiskriminasi dan terpinggirkan. Bukankah tuhan itu Mahaadil? Lalu, mengapa rasanya keadilan samasekali tak berpihak kepada hidupku ini? Persetan dengan keadilan!

Hidup.

Hidupku pun samasekali tak menarik. Memuakkan. Ya, aku tahu bahwa hidup ini singkat. Sangatlah singkat hingga tak ada waktu untuk bergembira sedikitpun. Seluruh waktuku hanya kuhabiskan untuk meratapi kehidupanku yang menyebalkan ini. Pernah suatu saat aku ingin berteriak kencang. Sangat kencang. Namun, adakah orang yang mau mendengarkanku barang secuil? Aku yakin tak ada. Takkan ada. Apa mereka tak menyadari bahwa seluruh hidupku ini berguna bagi mereka, tetapi mereka tak sedikitpun menganggapku ada. Menyedihkan memang. Kadang aku berfikir untuk mengakhiri hidupku saja. Buat apa hidup kalau kau tak punya teman? Buat apa hidup jika kau tak pernah dianggap ada?

Mati.

Nurani mereka telah mati. Mereka tak menganggapku teman karena aku berbeda. Aku tak sama dengan mereka. Dan aku berasal dari tempat yang sangat jauh. Ya, sangat jauh. Entah darimana asalku. Aku sendiri pun tak tahu itu. Menyakitkan sekali bukan jika dalam hidup ini kau tak mempunyai teman seorangpun? Lalu, siapa nanti yang akan aku ajak ke surga? Kata orang, surga itu tempat yang baik. Tempat yang indah. Hanya makhluk tuhan yang baik saja yang bisa ke sana. Sama seperti kau, aku pun ingin ke sana. Akan tetapi, apakah aku pantas berada di sana kelak? Aku sendiri merasa tak cukup baik untuk ada di sana. Surga hanya untuk mereka yang telah berbuat baik sepanjang hidupnya. Lalu, apa yang selama ini aku perbuat? Berbuat baik pun aku tak pernah. Jangan-jangan aku akan masuk neraka. Bukan surga. Neraka itu tempat yang sangat mengerikan, katanya. Kata siapa entahlah, aku lupa. Neraka tempat para makhluk jahat berkumpul. Hanya ada kepedihan dan kegelapan di sana. Aku hanya mendengar selentingan itu dari sekawanan musuh-musuh kecilku. Mengapa manusia begitu sayang pada musuh-musuh kecilku itu? Aku bahkan sangat berharap mereka dapat mati lebih awal tahun ini. Aku tak mau bertanya pada mereka. Malas. Ke neraka pun tak apa-apa. Asalkan aku tak kesepian seperti sekarang ini.

Bodoh.

Aku ini sangat bodoh kan? Benar kan? Kau pasti menganggapku begitu. Tak apa-apa. Tak usah malu mengatakannya. Tak usah kasihan kepadaku karena aku samasekali tak suka dikasihani. Aku sudah terbiasa hidup sendiri. Cacian, ejekan, cemoohan, dan sindiran adalah makananku sehari-hari. Kalau dipikir-pikir, banyak sekali makananku. Biar saja. Biar aku tumbuh lebih kuat dan lebih besar dari mereka. Kalau aku sudah cukup besar, akan kuinjak mereka semua. Ya, mereka yang telah menganggap rendah dan meremehkanku. Hahahaha. Aku bahagia. Hahahaha. Aku senang hahahahaha. Aku gembira. Hahahahaha. tapi apakah aku benar-benar bahagia?

Bahagia.

Seperti apa rasanya bahagia itu? Aku tak pernah tahu rasanya. Mendengar namanya pun aku jarang. Kata itu sungguh asing bagiku. Apakah bahagia menurutku sama dengan bahagia menurut mereka? Uhh, mengapa lagi-lagi memikirkan mereka? Musuh kecil yang menyebalkan. Biar saja, yang penting kan aku bahagia. Persetan dengan hidup mereka yang selalu bahagia. Aku pun bisa bahagia dengan kebahagiaanku sendiri. Kurasa aku bahagia. Benarkah aku bahagia? Jika aku bahagia mengapa aku menangis?

Tangisan.

Hey, aku tak menangis! Lihat mataku tak basah sedikitpun. Aku ini kuat. Jika aku menangis, maka aku tak kuat. Aku kuat, jadi aku tak menagis. Mengerti? Kau mana mengerti, kau ini tak merasakan apa yang aku rasakan sekarang. Tak usah berpura-pura mengerti kesedihanku ini. Aku muak dengan perhatianmu yang palsu! Aku muak dengan senyummu yang palsu! Aku pun muak dengan siakap sok baikmu hei matahari! Apa kau tak bosan menghiburku setiap waktu? Apa yang kau dapatkan? Apa gunanya berbaik hati padaku? Jangan harap aku akan tersentuh dengan sikap sok baikmu itu!

Kebaikan.

Aku rasa kaulah satu-satunya yang sabar menghadapi aku. Kau matahariku. Kau tahu selama ini aku merasa sangat kesepian. Kau tahu bola mataku telah mengering. Katamu, semua itu terjadi karena aku sering menangis. Aku selalu berusaha kuat di hadapan semua musuh-musuh kecilku. Padi-padi sialan itu. Mereka percaya bahwa aku ini kuat. Mereka samasekali tak bisa membaca garis kesedihan di gurat wajahku. Tapi mengapa kau bisa? Mengapa kau tak menganggapku kuat saja, seperti yang lainnya? Mengapa kau bisa membaca kelemahanku? Mengapa kau tahu kalau selama ini aku sok kuat? Mengapa kau bisa membaca semua kepalsuanku?

Matahari.

Kau memang tak biasa. Tak seperti yang lainnya. Sepanjang hari dalam sepanjang hidupku, aku selalu kesepian. Tak ada yang mau mendekatiku selain kau. Tak ada yang mau berteman denganku selain kau pula. Kini aku mulai menyadari kau sangat berarti. Di pagi hari kau selalu menemaniku. Kau terangi aku dengan sinarmu. Bukan hanya aku yang kau terangi, dunia ini pun kau terangi. Cahayamu begitu menyilaukan. Kadang temaram. Kadang panas membakar. Namun, aku suka. Aku suka kau apa adanya. Biarlah aku terpanggang oleh panas, asalkan panas itu kau. Ups, apa yang kukatakan tadi? Apakah itu kata-kata gombal? Padahal aku samasekali tak bermaksud untuk menggombal. Jangan-jangan aku ini sudah gila. Ya, gila karena cinta. Cinta pada matahariku yang setia menemaniku dan menerimaku apa adanya.

Cinta.

Begitu singkat namanya, namun penuh makna. Kurasa semua makhluk di dunia ini pernah merasakannya. Sebenarnya aku tak begitu mengerti tentang perkara yang satu ini. Mungkin karena aku tak pernah merasakannya. Sebelum bertemu dengannya apalagi, aku bahkan tak mau tahu tentang cinta. Setelah bertemu dengannya dan menyadari kehadirannya, aku ingin tahu apa itu cinta yang sebenarnya. Aku ingin lebih tahu apa itu cinta. Tahukah kau bahwa cinta adalah mataharimu karena dia selalu menyinarimu. Tak pernah lelah memancarkan cinta. Memberimu energi. Membuat hari-harimu bersemangat. Aku bahkan tak pernah kesepian lagi sejak ia hadir. Mungkin cinta itu telah ada sejak dulu di sekitarmu, namun kau tak menyadarinya. Entah kau yang benar-benar tak menyadarinya atau takdir yang belum mempertemukan kalian.

Cinta itu hangat. Di malam yang dingin, aku merasa hangat jika mengingatnya. Ajaib bukan? Padahal kau tahu kan, di sini daerah pegunungan. Malamku pasti lebih dingin dari malam-malammu. Mengapa hanya dengan mengingatnya saja aku bisa merasa hangat? Cinta memang benar-benar aneh. Menakjubkan bukan? Cintalah yang mengajariku tak membenci musuh-musuh kecilku ini. Ternyata selama ini mereka tidak benar-benar membenciku. Aku pun tak benar-benar membenci mereka, sebenarnya. Cintalah yang mengajariku menjadi makhluk yang kuat. Ya, kini aku benar-benar kuat. Kuat karena cinta. Cinta yang mencerahkanku melalui pencerahan ini. Sudah kuputuskan, aku akan lebih menghargai hidupku. Aku akan menyerap cintanya sebanyak-banyaknya dan memberikan cintaku sebanyak mungkin. Bukan hanya untuk matahariku, tetapi untuk semua makhluk di muka bumi ini.



Hosted on Photoserver.ws

0 komentar: